MOM Bukan Ajang Pembodohan Dan Kekerasan

Dari 34 mahasiswa Politeknik Negeri Batam yang mengisi quisioner terkait MOM, 10 diantaranya menyatakan ada sisi traumatis yang dirasakan mahasiswa terhadap MOM Politeknik Negeri Batam. Dengan kata lain 29,4 % mahasiswa merasakan dampak negatif yang berlebihan dari MOM.

Dari analisa yang ada, sebagian besar merasa trauma karena adanya efek senioritas yang berlebihan dari para senior. Lebih dari itu, mahasiswa merasa MOM sebagai ajang untuk pembodohan dan kekerasan yang dilakukan oleh senior terhadap yunior dan amat disayangkan lagi alumni yang seharusnya menjaga juga ikut ‘membantai’ para yuniornya. Tentu saja ini menjadi catatan penting untuk melakukan perubahan pada MOM khususnya Politeknik Negeri Batam.

“Kekerasan yang terjadi berbanding terbalik dengan yang telah dikonsepkan, konsep awal hanya untuk melatih mental mahasiswa baru untuk menghadapi lingkungan kampus yang baru namun dalam perjalanannya terjadi perubahan dikarenakan kurangnya kordinasi terhadap panitia pelaksana dan ego dari panitia pelaksana itu sendiri” imbuh Muhammad Saiful, Presiden BEM Politeknik Negeri Batam 2011-2012.

Pernyataan diatas menerangkan penyebab beberapa keluhan dan kesalahpahaman yang dialamatkan terhadap MOM. Dengan begitu pekerjaan rumah sudah menanti panitia MOM Politeknik Negeri Batam selanjutnya untuk menciptakan MOM yang lebih bermanfaat dan relatif jauh dari sikap senioritas yang berlebihan dan kekerasan.

Keluhan tersebut bukan kali ini saja diutarakan, namun sudah sejak beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi pada MOM 2010 Politeknik Negeri Batam, konsep senioritas, pembodohan dan kekerasan sudah mulai dihilangkan. Hal ini terlihat dari beberapa langkah yang diambil yaitu dengan pemberian materi kemahasiswaan dan motivasi untuk memacu semangat mahasiswa. Pemberian gambaran akan pentingnya mahasiswa dengan narasumber ternama juga bisa dijadikan pertimbangan untuk peningkatan kualitas MOM.

Luki Sensini, Ketua Badan Legislatif Mahasiswa (BLM) Politeknik Negeri Batam 2011-2012, yang mengikuti MOM 2009 Politeknik Negeri Batam mengungkapkan bahwa pemikiran kreatif, pendirian dan komitmen kuat sebagai mahasiswa yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan pribadinya didapatkan dari MOM. MOM juga yang meningkatkan motivasinya sebagai aktivis kampus dengan tetap menjaga kepentingan akademik yang ia emban.

Dengan demikian MOM sebagai ‘gerbang’ masuk Politeknik Negeri Batam memberi manfaat yang cukup baik bagi mahasiswa. Cetak biru perubahan terhadap MOM pun sudah mulai dirancang pihak BEM Politeknik Negeri Batam jauh sebelum penerimaan mahasiswa baru. Hal ini juga terlihat dari antusias mahasiswa untuk ikut berpartisipasi pada panitia MOM berikutnya. Dari 34 mahasiswa Politeknik Negeri Batam yang menjawab pentingnya MOM, 100% menganggap MOM penting untuk terus diadakan.

Saatnya Menjadi 'Director Of Change'


Mengutip dari ucapan seorang gerilyawan terkenal dalam sejarah, “Jika hatimu tergetar melihat penindasan, maka kau adalah kawanku”. Ucapan Che Guevara tersebut memacu seseorang untuk berontak terhadap penindasan dalam artian tidak diam dibalik ketakutan terhadap hukum. Begitu juga apa yang seharusnya dilakukan oleh mahasiswa untuk lebih awas terhadap kebijakan-kebijakan disekitarnya yang menyangkut kesejahteraan umum.
            Dari awal mahasiswa sudah ditanamkan pemikiran bahwasanya mereka adalah agent of change dan agent of control. Itulah ucapan yang selalu diungkapkan oleh para aktifis senior ketika harus berbicara didepan yunior untuk menyampaikan materi terkait peran mahasiswa. Namun masih sedikit yang paham akan kedua peran tersebut dan lebih mirisnya lagi hanya sedikit yang peduli terhadap lingkungan sekitar hal ini terkait sifat apatis yang dibawa dari masa sekolah dulu.
            Menurut Musfi Yendrea wakil ketua Sumbar Intellectual Society (SIS) dalam situs enewsletterdisdik.wordpress.com, sebagai kaum terdidik yang hidup dilingkungan masyarakat maka mahasiswa memiliki beberapa peran yang harus diemban yaitu:
1.      Mahasiswa sebagai iron stock, yaitu mahasiswa diharapkan menjadi manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya.
2.      Mahasiswa sebagai agent of change, yaitu mahasiswa sebagai agen dari suatu perubahan yang diharapkan dalam rangka kemajuan bangsa. Dilakukan dengan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil dan miskin, mengembalikan nilai-nilai kebenaran yang diselewengkan oleh oknum-oknum elit.
3.      Mahasiswa sebagai agent of problem solver, yaitu mahasiswa harus menjadi generasi yang memberikan solusi dari setiap persolaan yang terjadi dalam lingkungan dan bangsanya sendiri. Dengan berbagai analisa dan kajian-kajian akademik yang dilakukan, semestinya mahasiswa bisa membantu jalan keluar terhadap kondisi sulit yang dihadapi oleh pengambil kebijakan.
4.      Mahasiswa sebagai agent of control, yaitu mahasiswa berfungsi sebagai kapten dari kapal pemerintahan yang mengawasi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh nahkoda pemerintahan.
Namun, menurut Rama Pratama mantan ketua Senat Mahasiswa UI (kini BEM-UI) dalam tulisannya ditahun 1999 yang berjudul “Gerakan Mahasiswa dan Civil Society” bahwasanya beberapa peran diatas belum memadai. Seharusnya mahasiswa sudah mulai menjadi director of change dimana peran mahasiswa lebih kepada pengarah perubahan.
Jika dikaji lebih lanjut maka peran director of change dilaksanakan setelah beberapa peran sebelumnya. Sehingga, ketika mahasiswa mampu melakukan perubahan terhadap suatu kebijakan maka mahasiswa tidak lantas melepas perubahan yang telah terjadi. Mahasiswa harus mampu mengarahkan perubahan yang didapat menuju implementasi dari rencana yang telah dipetakan. Sehingga impian-impian yang telah disusun dan dituntut dapat dicapai dan dirasakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dari beberapa peran mahasiswa yang ada, dapat ditarik garis besar bahwasanya tujuan dari peran tersebut adalah menjamin dan menjaga kepentingan rakyat diatas kepentingan individu atau golongan. Karena sejatinya mahasiswa, pemerintah, anggota dewan, pejabat eksekutif pemerintahan dan seluruh orang di suatu Negara adalah satu yaitu rakyat. Dengan demikian maka para pembuat kebijakan harus berfikir sebagai rakyat yang akan merasakan dampak positif maupun negatif dari suatu kebijakan dan mahasiswa harus mampu menjaga dan mengawasi setiap langkah yang terkait kebijakan pemerintah terhadap rakyat.(ro)

Marwah Melayu, Korban Perjudian Bisnis Wisata

Kepulauan Riau (Kepri) merupakan provinsi yang terhitung muda di Indonesia. Baru terbentuk ditahun 2002 hasil pemekaran provinsi kepri. Kepri sendiri terbentuk berdasarkan UU No. 25 Tahun 2002 sekaligus menjadi Provinsi ke-32 di Indonesia yang mencakup Kota Tanjung Pinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan, Kabuten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kepulauan Anambas dan Kabupaten Lingga.

Ibu Kota dari Kepri sendiri adalah Tanjung Pinang dimana mayoritas penduduknya adalah keturunan suku melayu. Hal ini bisa dilihat dari logat berbicara yang masih kental dengan bahasa melayu. Selain itu suku melayu dikenal kuat dalam menjaga marwah diri dan menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran. Selain karena faktor suku, hal ini juga diperkuat dengan agama.

Mayoritas penduduk melayu adalah pemeluk agama Islam yang notabene selalu menjaga diri dari fitnah. Artinya adalah, Islam mewajibkan umatnya untuk menjaga diri dari hal-hal yang bisa menjatuhkan harga diri umatnya. Hal-hal tersebut salah satunya adalah cara berpakaian khususnya bagi wanita. Tidak hanya Islam tapi mayoritas setiap agama pasti menganjurkan umatnya untuk menjaga harga dirinya.

Peningkatan Wisata Topeng Pelindung Kemaksiatan

Pesta bikini atau bikini party dilaksanakan Sabtu (14/5) sore di Kota Tanjung Pinang tepatnya di pantai Lagoi. Acara tersebut diselenggarakan atas kerjasama antara Dinas Pariwisata Bintan dengan Fashion TV (FTV) sebuah stasiun televisi internasional. Hal ini dimaksudkan untuk menarik wisatawan asing datang mengunjungi Kepri dan nantinya bisa menjadi pemasukkan bagi kas daerah.

Namun yang perlu dicermati adalah apa yang dikonsepkan dari acara tersebut. Acara tersebut merupakan pesta bikini alias pameran pakaian dalam wanita yang tentunya akan diperagakan oleh wanita bukan patung. Wanita-wanita tersebut akan berjalan melenggak-lenggok hanya dengan mengenakan pakaian dalam. Acara ini akan disaksikan oleh para tamu baik lokal maupun wisatawan asing.

Namun sayangnya, justru acara yang jelas-jelas akan menuai kontra karena bertolak belakang dengan background melayu tersebut mendapat dukungan dari Gubernur Kepri. HM Sani mengungkapkan bahwa acara tersebut masih dalam taraf wajar.
"Inti dari tourism adalah menarik sebanyak mungkin wartawan masuk ke daerah kita. Para tamu itu datang ke sini hanya mau melihat hal yang beda. Memang begitu kondisi para turis," ungkap Sani, Selasa (2/5).

Gelar Datuk Setia Amanah, gelar yang disematkan oleh sani dari Lembaga Adat Melayu (LAM), seolah-olah tidak sejalan dengan perkataan HM Sani. Sani dengan jelas mengkhianati amanah rakyat Kepri yang sangat kontra terhadap pameran bikini tersebut. Selain itu sani juga melanggar UU Pornografi.

Masih Banyak Cara Lain
Melayu merupakan tanah yang kental akan budaya dan adat istiadat. Berbagai macam kesenian ada di tanah melayu dengan begitu banyak ragam. Mulai dari tarian, music hingga peninggalan-peninggalan sejarah. Bahkan untuk menjaga kelestarian dan rasa cinta terhadap budaya melayu banyak kompetisi yang memperlombakan kreatifitas di bidang seni melayu yang salah satunya adalah lomba tari melayu kreasi.

Peninggalan sejarah pun banyak dapat ditemui di Kepri. Untuk Kota Tanjung Pinang terdapat peninggalan sejarah dari Raja Ali Haji yaitu Masjid Penyengat di Pulau Penyengat. Selain itu ada Kampung Vietnam di Pulau Galang yang merupakan bekas domisili warga Vietnam yang mengungsi karena gejolak perang dinegaranya.

Berbagai event-event khas budaya melayu pun sering diadakan guna menarik minat wisatawan asing untuk dating mengunjungi Kepri. Bahkan Kepri sendiri menjadi gerbang wisata kedua setelah Bali. Hal ini tercatat dengan kunjungan wisatawan asing dengan jumlah 1,5 juta orang pada 2005 (id.wikipedia.org).

Dari fakta-fakta diatas sudah jelas bahwasanya tidak perlu sampai ada pameran bikini di Tanah Marwah ini. Dengan memaksimalkan beberapa potensi diatas maka Kepri bisa menjadi ‘buah bibir’ manca Negara nantinya. Hanya tinggal bagaimana Dinas Pariwisata mampu memoles ‘intan dalam lumpur’ tersebut tanpa mengesampingkan identitas lokal melayu.

Diharapkan nantinya Kepri bisa menjadi trend setter bagi Provinsi lain dalam hal pariwisata. Sehingga motto Kepri “Berpancang Amanah Bersauh Marwah” dapat dijaga. Begiut juga untuk Indonesia sebagai negera timur tidak terlepas dari identitasnya namun tetap diperhitungkan didunia. Jangan sampai demi eksistensi dan popularitas kita harus terkena efek negative globalisasi. (*)