Pemuda Pilar Bangsa
"Berikan saya sepuluh pemuda, akan saya guncangkan dunia!!!"
Itulah salah satu ucapan presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno yang menjadi cambuk mental bagi para pemuda. Ucapan itu menandakan bahwasanya ditangan pemudalah masa depan bangsa dan dunia ditentukan. Karena pemuda adalah manusia-manusia yang produktif yang memiliki pemikiran kreatif dan pantang mengatakan tidak.
Jiwa militansi pemuda dalam bertindak pun tercermin dari setiap langkah dan jejak perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sedikit banyak, pemuda memiliki peran penting dalam torehan tinta sejarah pencapaian proklamasi negeri ini. Bahkan kala itu terciptanya kelompok-kelompok pemuda yang menamakan dirinya jong java, jong sumatera, jong ambon dan lain sebagainya. Demi memperkuat persatuan antara pemuda maka tercetuslah sumpah pemuda yang mendeklarasikan bahwa bagaimanapun keragamannya, Indonesia tetap satu. Indonesia tidak akan terpecah oleh perbedaan.
Tidak hanya berhenti pada peristiwa kemerdekaan, namun jiwa pejuang nan pantang menyerah yang dimiliki pemuda tetap hidup dengan pembuktian pada tahun 1998. Sebagaimana sejarah mencatat, runtuhnya orde baru dibawah kuasa Presiden RI kedua yaitu Soeharto tidak lepas dari andil pemuda dan mahasiswa. Hal ini dipicu oleh idealisme pemuda yang selaku Agents Of Change yang menuntut perubahan kearah yang lebih baik. Tentu saja perubahan yang dimaksud adalah dalam konteks kesejahteraan masyarakat.
Dari rentetan sejarah diatas sudah jelas bahwa pemuda adalah salah satu pilar penting kebangkitan Negara Indonesia. Dengan kata lain, sudah seharusnyalah pemuda tetap memberikan andil positif bagi perkembangan bangsa ini. Kini peran pemuda tidak lagi terfokus pada Agents Of Change, namun lebih kepada Agents Of Control. Agen yang selalu menjadi pemantau pergerakan kebijakan dan perkembangan bangsa.
Pemantauan yang dimaksud adalah bagaimana para pemuda masih mampu menjaga marwah Negara ini. Karena era globalisasi yang begitu pesat cukup mempengaruhi identitas bangsa dari segi sosial dan budaya. Berbagai macam bentuk pengaruh sosial dan budaya yang masuk membuat Negara ini semakin terkontaminasi dengan pengaruh kehidupan dari Negara luar. Tentunya kita tahu, bahwa negara-negara asia tenggara sudah kental dengan budaya timur yang penuh ramah tamah dan sopan santun termasuk Indonesia.
Membaur Bukan Untuk Melebur
Pesatnya perkembangan teknologi informasi memudahkan perkembangan globalisasi sosial dan budaya. tidak jarang kita menjumpai masyarakat yang bertetangga namun tidak saling mengenal antara tetangganya bahkan yang berada tepat diesebelah rumahnya. Contoh lebih nyata dan sering terlihat saat ini adalah bagaimana ‘hubungan’ antara pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan secara sah. Pergaulan yang ada terkesan ‘tanpa batas’ menjurus bebas yang tidak jarang berkhir pada pernikahan diusia muda karena kecelakaan syahwat.
Begitu juga dari segi budaya, khususnya budaya berpakaian masyarakat Indonesia yang sopan dan tertutup kini berubah lebih terbuka. Istilah ‘pakaian setengah jadi’ pun kini sudah marak terlihat di kalangan publik. Saat ini sudah sulit menemukan perempuan yang mau berpakaian longgar, alih-alih yang ada adalah wanita-wanita yang mengenakan pakaian yang menampakkan lekuk tubuhnya.
Tentu saja ini berpengaruh pada harga diri atau marwah bangsa ini. Bangsa yang begitu terhormat dengan kesopanannya baik dalam berkehidupan sosial maupun budaya mulai menjadi perbincangan dalam konteks negatif. Beberapa daerah bahkan menjadi tempat wisata prostitusi bagi pelancong dari negeri tetangga. Identitas Negara yang begitu dibanggakan kini mulai diragukan. Jelaslah sudah bagaimana bobroknya mental bangsa ini dalam menyikapi pengaruh luar yang ada.
Namun jika kita kaji lebih dalam lagi, sebenarnya tidak ada yang salah dari globalisasi sosial dan budaya. kesalahan yang ada adalah bagaimana Negara ini menyikapi pengaruh yang masuk. Amerika dengan budaya liberalnya menjadi Negara adikuasa, India dengan tarian seksinya mampu melahirkan ilmuan-ilmuan luar biasa, China dengan komunisnya mampu menguasai pasar perdagangan dunia.
Sayangnya yang didapat dari Negara ini adalah Junk Culture dari efek globalisasi. Nilai-nilai buruk yang dianggap menguntungkan bagi sebagian pihak atau golongan menjadi bisnis menggairahkan. Namun nilai-nilai positif yang ada justru diabaikan dan tidak diperdulikan. Inilah yang menjadi perkerjaan rumah yang besar bagi pemuda sebagai Agents of Control untuk memantau Negara ini. Jangan sampai marwah Indonesia yang pernah menjadi macan asia justru hanya menjadi tikus korupsi dimata Negara tetangga.
Sosialisasi dan pembentukan karakter harus ditanam sejak dini agar terhindar dari pengaruh negative globalisasi. Terus melakukan kajian terhadap isu-isu terkait jati diri agar identitas bangsa ini tetap terjaga. Pergerakan untuk menentang hal-hal yang dirasa merugikan bisa digunakan sebagai jalan terakhir untuk menentang virus globalisasi.
Tapi perlu dipahami lagi, dari setiap kejadian tentu ada niat baik dari semua itu. Apa yang terjadi pada bangsa ini tentunya menjadi cambuk motivasi untuk pemuda agar lebih peka terhadap isu-isu internal terkait jati diri bangsa. Jangan sampai Indonesia kecolongan karena kelalaian pemuda menjaga gerbang marwah bangsa ini. Selain itu, globalisasi mengajarkan kita untuk lebih hati-hati dalam menyikapi setiap budaya yang masuk. Seharusnya sikap bangsa ini adalah membaur bukan melebur, menjadi kopi yang dituangkan kedalam air panas yang mampu mengharumkan sekitarnya.(ro)